PURBALINGGA, INFO – Rendahnya tingkat literasi masyarakat menjadikan Indonesia sasaran empuk berita hoaks (berita bohong). Masyarakat pengguna internet (netizen) kerap menjadikan media sosial sebagai sumber informasi, padahal tidak semua informasi yang berseliweran itu benar. Berita hoaks dengan mengangkat isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan ) masih menjadi senjata yang ampuh untuk memecah belah rasa persatuan di masyarakat.
Hal itu terungkap pada diskusi ‘Merdeka dari Hoaks’ yang digelar Dewan Pengurus Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Purbalingga di aula Dinas Pemuda Olah Raga dan Pariwisata (Dinporapar) Purbalingga, Sabtu (26/8) malam. Diskusi itu menghadirkan tiga nara sumber masing-masing Ir Prayitno, M.Si (Kabid Humas dan Informasi Komunikasi Publik Dinas Kominfo Purbalingga), Indaru Setyo Nurprojo, S.IP, MA (Dosen Ilmu Politik Unsoed Purwokerto), dan Joko Santoso, S.Si (Ketua Persatuan Wartawan Indonesia/PWI Perwakilan Purbalingga). Diskusi dibuka oleh Ketua DPD KNPI Purbalingga Agil Kusumasari, S.Sos.
Prayitno mengungkapkan, berdasar data Assosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016, dari jumlah penduduk Indonesia 256,2 juta jiwa, penetrasi pengguna internet mencapai 132,7 juta atau 51,8 persen. Dari pengguna internet ini, sebanyak 71,6 juta atau 54 persen menggunakan konten media sosial facebook. Selebihnya menggunakan media sosial instagram, Youtube, twitter, G+, dan Linked In. “Ironisnya, ketika membaca informasi tertentu, pengguna media sosial ini kebanyakan hanya melihat judulnya saja, dan jika menurutya cocok, terlepas dari benar tidaknya, maka netizen langsung share. Inilah yang memicu sebuah informasi hoaks akan menjadi semakin viral,” kata Prayitno.
Prayitno mengungkapkan, berita hoaks tidak banyak memberi manfaat bagi netizen dan masyarakat. Berita hoaks bisa mengakibatkan permusuhan, perpecahan di masyarakat, menebar rasa kebencian, memicu amarah, membuat ketidakpercayaan, dan membuat masalah bagi yang menyebarkannya. “Namun, ada juga kelompok yang memanfaatkan berita hoaks sebagai ladang bisnis dan juga untuk kepentingan politik. Akhir-akhir ini, Polri telah berhasil mengungkap jaringan Saracen yang menebarkan berita hoaks sebagai ladang bisnis, tanpa mempertimbangkan kerugian yang akan dipikul masyarakat luas,” kata Prayitno.
Prayitno mengingatkan, agar masyarakat khususnya kalangan pemuda bersikap cerdas dan bijak dalam menggunakan media sosial. Literasi internet sudah saatnya diterapkan dalam pendidikan. Agar menjadi pembaca yang cerdas, netizen perlu membaca baik-baik sinkronisasi judul dan isi berita, kemudian cek media apa dan siapa yang menerbitkannya. Cek waktu dan tanggal publikasi, cek siapa penulisnya. Perhatikan pula sumber dan link yang digunakan, perhatikan kutipan dan foto, hati-hati dengan bias informasi, dan lihat situs lain apakah ada yang melaporkan hal yang sama atau tidak. “Netizen yang cerdas dan bijak, akan berpikir sebelum klik share,” pinta Prayitno.
Prayitno juga mendorong KNPI Purbalingga untuk ikut membangun negeri dengan informasi melalui gerakan bijak bermedia sosial. “Mencermati serangan berita hoaks yang semakin menggurita, maka sudah saatnya pemuda Purbalingga yang tergabung dalam KNPI untuk bergerak bersama melakukan gerakan Bijak Bermedia Sosial,” ajak Prayitno.
Sementara itu Joko Santoso yang membawakan makalah ‘Peran Media dalam Melawan Berita Bohong’, mengatakan munculnya berita hoaks menunjukkan bahwa kebohongan tidak dilakukan oleh pribadi saja, tetapi sudah dilakukan secara kolektif demi tujuan tertentu. Bahkan kebohongan itu seperti sudah menjadi industri. Hal yang dijadikan isu kabar bohong itu juga beragam, mulai dari peristiwa, isu politik, informasi produk, citra diri atau bahkan isu sains.
“Saat ini yang diperlukan adalah melawan dan menghentikan berita hoaks. Dalam kondisi ini, media arus utama (media mainstream) harus mampu meluruskan hal-hal yang bengkok-bengkok serta menjernihkan kekeruhan yang terjadi di media sosial. Bukan justru ikut larut dan malah memungut isu-isu yang belum terverifikasi di media sosial menjadi bahan berita,” katanya.
Pembicara lain, Indaru Setyo Nurprojo mengungkapkan, kebangkitan marketing issue mulai terjadi menjelang pilpres 2014 silam. Berita hoaks mulai menggebrak politik. Isu SARA masih dianggap oleh kelompok tertentu sebagai isu strategis yang kejam dan mampu menjadi senjata politik yang kuat. “Isu SARA sepertinya masih menjadi isu yang sexy untuk digunakan oleh kelompok tertentu memecah belah karena cepat di respon oleh masyarakat. Isu SARA ini menjadi titik kelemahan bangsa Indonesia dan ibarat penyakit sulit untuk disembuhkan,” tegas Indaru.
Ketiga pembicara juga sepakat untuk mendorong lembaga pendidikan untuk meningkatkan literasi internet dan mendorong KNPI Purbalingga menjadikan gerkan moral ‘Bijak Bermedia Sosial’ untuk menekan dan melawan berita hoaks yang makin merugikan masyarakat. (PI-1)