PURBALINGGA INFO, Pertunjukan Rakyat (Pertura) Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) tingkat Jawa Tengah menghibur pengunjung objek wisata Purbasari Pancuran Mas, Minggu (7/6). Pengunjung dihibur dengan pementasan seni tradisional yang memadukan musik, tari dan teater dengan budaya lokal masing-masing Kabupaten.

Salah satu pengunjung Purbasari, Alfi dari Purbalingga Kidul mengatakan adanya pertunjukan rakyat, pengunjung merasa terhibur. Ternyata di Jawa Tengah banyak beragam kesenian ada, termasuk logat antara masing-masing daerah ada perbedaan. “ Saya berharap kesenian trasidional ini bisa terus dilestarikan agar anak-cucu kedepan bisa menikmatinya,” katanya

Sedangkan pengunjung yang Dani warga Penaruban mengatakan sangat puas dengan berbagai penampilan dalam pertunjukan rakyat. Berbagai kesenian yang ditampilkan ada bisa menambah khasanah pengetahuan para pengunjung Purbasari. Pesan tiap penampilan juga bisa diambil hikmahnya agar masyarakat bisa menyaring dulu sebuah berita atau informasi sebelum di sebarluaskan.

“ Penyebaran Hoaks yang masif banyak menimbulkan dampak retaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu perlu semangat persatuan dan kesatuan bangsa untuk saling memerangi hoaks di tengah-tengah masyatrakat,” katanya.

Kasi Komunikasi Publik, Sapto Suhardiyo mengatakan ada 4 kabupaten yang ikut memeriahkan seleksi Pertura Tahun 2019 tingkat Provinsi Jawa Tengah. Yakni Kabupaten Jepara, Kabupaten Brebes, Kabupaten Magelang dan Kabupaten Purbalingga. Pertama tampil dari Kabupaten Jepara dengan menampilkan kesenian Thongprak, yakni kesenian yang memadukan tong plastik yang dijadikan bedung dengan musik gamelan, dengan “lakon Uwit” (judul pohon)

Lakon Uwit menceritakan adanya rumor sebuah pohon yang “berpenghuni” yang menjadikan beberapa kejadian yang hilangnya sesorang di pohon tersebut. Kemudian juga kejadian tidak jadinya seorang calon legislatif karena fotonya di paku di pohon tersebut dan kejadian Ban kempes jika melintas di bawah pohon tersebut.

Kejadian tersebut membuat beberapa orang berinisiatif untuk menebang pohon tersebut, namun kepala desa tidak berkenan, dikarenakan pohon mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai paru-paru dunia. Pohon juga sebagai penjaga lingkungan dari tanah longsor dan banjir, serta pohon juga merupakan salah satu simbol dalam Pancasila yakni sila ke tiga.

Penampilan kedua dari FK Metra Kabuapaten Brebes yang menampilkan praklung yakni ketoprak calung dengan judul Ngingu Tuyul. Memakai bahasa ngapak yang medok praklung menceritakan adanya gosip kepala desa sedang menggendong tuyul di media sosial. Hal tersebut membuat gempar seluruh masyarakat desa karena semua masyarakat sudah diberikan uang sebagai rasa syukur karena kesembuhan istri kepala desa.

Betapa sakit hati sang kepala desa diperlakukan seperti itu. Niat baiknya dibalas dengan caci maki. Tapi setiap perbuatan busuk pasti akan tercium juga. Aksi Leman dan Darsih ketahuan oleh Wanyad, salah satu penduduk desa itu. Akhirnya Leman dan Darsih dibawa ke kepala desa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Penampilan ketiga dari Kabupaten Magelang dengan menampilkan permainan seni bela diri dan seni tari yang atraktif dengan judul Crah Agawe Bubrah Rukun Agawe Santoso. Pertunjukan tersebut menceritakan adanya perselisihan antara pemain seni bela diri dan seni tari dikarenakan diskomunikasi tempat latihan.

Ditengah-tengah perkelahian datanglah Ki Jogoboyo untuk melerai permasalahan keduanya yang masih belum ada yang mengalah dan menerima, sehingga Pak Lurah juga ikut melerai, bahwa sesama warga, harus saling menghargai, menghormati dan saling asah asuh. Pak Lurah juga menegaskan pentingnya Persatuan dan Kesatuan Bangsa.

Penampilan ke empat dari Kabupaten Purbalingga dengan menampilkan Ketoprak Banyumasan, dengan judul Pacul Gowang, yang mempunyai makna jika paugeran ucul (peraturan tidak dilaksanakan) berakibat masyarakat terbelah. Hal tersebut dikarenakan beredarnya berita hoaks terkait dengan hilangnya pusaka pacul gowang milik ki bekel.

Sebagian masyarakat yang sudah terhasut hoaks berpendapat hilangnya pusaka menjadikan penyebab Ki Bekel sakit keras. Perselisihan antara masyarakat yang terpapar hoaks dengan masyarakat pendukung abdi dalem menimbulkan kekacauan di desa tersebut. Yang akhirnya Ki Bekel harus turun tangan mengatasi hal tersebut.

Kedua belah pihak dikumpulkan untuk tabayyun, ternyata sakitnya di Ki Bekel bukan karena hilangnya pusaka karena pusaknya masih ada. Pembuat dan Penyebar berita hoaks bisa dijerat dengan UU ITE, yakni dipenjara maksimal 6 tahun dengan denda maksimal Rp 1 milyar.

 “Bener omonge wong tua jaman kuna, jere kakine inyong, pedhang landhep nanging kalah karo ilat. Landhepe pedang, angger merang mari ditambani idu wayu. Nanging ilat bisa nglarani ati malah bisa marakna pati. Ilat bisa gawe bisa gawe fitnah, penghinaan, ujar kebencian lan amarga ilat bisa mlebu penjara,” (PI-2)