begalan5 fk METRA

Tidak hanya sekedar hiburan semata, media tradisional Begalan ternyata mampu menjadi sarana untuk kampanye program-program pemerintah. Seperti halnya program Keluarga Berencana (KB), gerakan anti korupsi, kesehatan, wajib belajar, gerakan nasionalisme dan sejumlah program lainnya.

Setidaknya, hal itu yang disuguhkan kelompok seni Begalan Cindelaras, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga, di Pendopo Cahyana Rumah Dinas Wakil Bupati, Rabu (27/3). Kelompok seni itu tampil dihadapan Tim seleksi Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) Pemprov Jateng. Tim ini mengunjungi delapan kabupaten termasuk Purbalingga untuk memilih satu kesenian yang akan mewakili Jateng pada Pekan Informasi Nasional (PIN) yang digelar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di Manado, pertengahan bulan Mei 2013 mendatang.

Pengurus FK Mira Jateng, Maston mengungkapkan, media tradisional pada dasarnya bisa dipakai sebagai sarana penyebaran informasi kebijakan daerah setempat. Kemasan penampilan, bisa menggunakan bahasa lokal yang diyakini dapat mempermudah penyebaran informasi itu. ”Intinya, informasi dapat sampai ke masyarakat dan sekaligus masyarakat terhibur dengan pementasan seni tradisional itu,” ujar Maston yang juga pegiat teater Lingkar semarang.

Khusus untuk penampilan pada PIN Kemenkominfo, lanjut Maston, penampilan seni tradisi menggunakan bahasa lokal (daerah) 25 persen dan bahasa Indonesia 75 persen. ”Jika seni Begalan dari Purbalingga terpilih, maka akan ditampilkan pada even PIN dan disaksikan perwakilan pegiat seni dan pengunjung PIN,” kata Maston.

Sementara sekretaris FK Metra Jateng, Daniel Hakiki mengungkapkan, di Jateng tujuh kabupaten yang diseleksi masing-masing Semarang dengan seni Trutuk, seni Barongan (Blora), kuda lumping ketoprak (Solo), seni teater bahasa Jawa (Wonogiri), ketoprak wayang (Sragen), ketoprak (Magelang), dan seni Begalan dari Purbalingga. ”Penampilan seni Begalan sudah cukup baik, namun kami belum bisa menentukan pilihan karena masih satu penampilan seni tradisional lagi dari Temanggung,” ujarnya.

Wakil Bupati Purbalingga Sukento Ridho Marhaendrianto mengungkapkan, seni tradisi selain memberikan hiburan tersendiri bagi warga masyarakat, juga sebagai penyambung informasi yang mudah dimengerti. ”Saya ingin menampilkan seni ini rutin di tempat umum sehingga dapat ditonton banyak orang,” ujar Sukento.

Pegiat kelompok seni begalan Cindelaras, Sutarko Gareng mengungkapkan, seni begalan sejatinya dipakai pada prosesi pernikahan dalam adat Jawa Banyumasan. Seni Begalan merupakan seni tutur tradisional yang digunakan sebagai sarana upacara pernikahan. Sementara dalam bahasa Indonesia, istilah begalan berarti perampokan.

Dengan arti inilah, dalam penggambaran ceritanya, begalan merupakan upaya untuk merampas barang bawaan milik calon pengantin laki-laki. “Dalam adat Jawa, calon pengantin laki-laki memang diharuskan membawa barang bawaan berupa peralatan rumah tangga yang disebut ‘gawan’. Gawan inilah yang dirampas oleh perampok dalam perjalanan,” tuturnya.

Properti yang dipakai dalam pementasan begalan berupa alat-alat dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi falsafah Jawa dan berguna bagi kedua mempelai dalam mengarungi hidup berumah tangga.

Begalan menggambarkan peristiwa perampokan terhadap barang bawaan dari besan (pihak mempelai pria) oleh seorang begal (perampok). Dalam falsafah orang Banyumas, yang dibegal bukanlah harta benda, melainkan bajang sawane kaki penganten nini penganten (segala macam kendala yang mungkin terjadi dalam kehidupan berumah tangga pada mempelai berdua).

Begalan dilakukan oleh dua orang pria dewasa yang merupakan sedulur pancer lanang (saudara garis laki-laki) dari pihak mempelai pria. Kedua pemain begalan menari di depan kedua mempelai dengan membawa properti yang disebut brenong kepang. Dalam pementasannya, kedua pemain menari diiringi gending-gending Banyumasan yang disajikan menggunakan perangkat gamelan.

Pentas Begalan dimulai dengan berjalannya rombongan calon pengantin laki-laki ke rumah calon pengantin perempuan. “Di tengah jalan, dihadang oleh begal atau rampok dan meminta seluruh barang bawaannya. Tetapi, sang pembawa barang tidak bersedia karena barang-barang itu akan digunakan untuk modal hidup rumah tangga baru,” ujar Sutarko.

Sambil diselingi humor Banyumasan, sang pembawa menjelaskan juga makna yang terkandung dalam tiap barang bawaan. Misalnya gayung diartikan agar sang calon istri bisa menampung dan berhemat atau kipas yang berarti alat untuk menciptakan suasana sejuk dalam rumah tangga yaitu kesabaran.

Usai menjelaskan kepada perampok, sang pembawa kemudian memukul kendi berisi kembang atau uang recehan hingga pecah. Uang dan barang bawaan yang itu akhirnya menjadi rebutan pengunjung. “Pengunjung biasanya meyakini, kalau barang hasil rebutan itu bisa mendatangkan berkah bagi yang mendapatkannya,” ujarnya. (Humas/y)