PURBALINGGA – Meski Undang Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah lama diundangkan, namun masyarakat khususnya konsumen tingkat terakhir masih banyak yang belum mengetahui hak dan kewajibanya. Sehingga masyarakat tidak mengetahui bagaimana cara menyelesaikan sengketa perlindungan konsumen.

“Pemkab berkewajiban melakukan sosialisasi. Karena masyarakat dianggap tahu begitu undang undang itu di berlakukan,” kata Asisten Administrasi Sekda Purbalingga, Gunarto saat membuka Sosialisasi UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Operation Room Graha Adiguna, Rabu (18/11).

Gunarto mengapresiasi kegiatan sosialisasi yang dimotori oleh Bagian Hukum dan HAM Setda Purbalingga. Kegiatan ini, lanjut Gunarto, untuk menyebarluaskan adanya undang undang perlindungan konsumen yang telah efektif diberlakukan sejak  April 2000.

“Selain sosialisasi dari pemerintah, masyarakat juga harus lebih tanggap terhadap perkembangan hukum yang ada,” katanya.

Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Dinperindagkop) Agus Winarno menuturkan, sesuai data Bareskrim Polri yang dipaparkan dalam kegiatan sosialisasi di tingkat nasional, saat ini tingkat pelanggaran pada penggunaan bahan pengawet makanan sudah akut. Produsen makanan yang mengandung bahan berbahaya seperti formalin dan pewarna tekstil juga semakin banyak.

“Kedepan, penegakan hokum terhadap pelanggaran dibidang makanan akan di pertegas,” jelasnya.

Melalui sosialisasi UU Perlindungan Konsumen tersebut, Agus Winarno mengajak masyarakat menjadi konsumen yang cerdas. Yakni konsumen yang mengerti dan paham sekaligus mampu menegakan hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Konsumen juga harus tahu akses penyelesaian sengketa saat ada masalah pelanggaran UU perlindungan konsumen.

Konsumen yang cerdas juga harus teliti sebelum membeli, apakah produk tersebut memiliki label SNI, tanggal kedaluwarsa, mampu belanja sesuai kebutuhan dan cinta produk Indonesia.

“Untuk soal ini (sengketa-red), yang pertama adalah mengkomunikasikan kepada pengusaha atau produsen. Kalau tidak selesai, bisa dikomunikasikan dengan LPKSM (lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat-red), BPSK atau langsung kepada pemerintah melalui Dinperindagkop,” jelasnya.

Bila semua langkah tidak berhasil, lanjut Agus, penyelesaian sengketa tentang perlindungan konsumen dapat dilaporkan kepada kepolisian sebagai sengketa hukum.

Dody Wahyudi, Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Bobotsari mengaku, di Purbalingga telah ada empat LPKSM. Yakni LPKSM Indonesia di Bukateja, LPKSM Berlian Bojongsari, LPKSM Kresna, Perum Penambongan dan LPKSM Sultan Agung Bobotsari.

Menurut Dody, LPKSM adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui pemerintah yang memiliki kegiatan menangani perlindungan konsumen. Sesuai UU, tugas LPKSM adalah menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran mengenai hak dan kewajiban serta peningkatan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa.

“Kami juga membantu konsumen dalam memperjuangkann haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen,” jelasnya.

LPKSM, lanjutnya, juga bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan masyarakat.

Menurut Kabag Hukum dan HAM Setda Tavip Wurjono, sosialisasi dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada jajaran SKPD, para pengusaha, camat dan kepala desa terhadap UU Perlindungan Konsumen. Harapanya, mampu mengedukasi masyarakat menjadi konsumen cerdas. (Hardiyanto)