PURBALINGGA – Menuju lokasi ‘Angkringan Mamake’ harus menyusuri jalan sempit di persawahan Desa Bokol, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga. Tempatnya boleh dibilang tidak istimewa, namun, setelah menikmati sajian makanan ala desa itu, rasanya pas dan puas. Apalagi sembari menyantap makanan itu sembari diterpa angin sepoi-sepoi dari areal persawahan yang membentang didepannya. Tidak jauh dari angkringan yang terbuat dari bambu wulung itu, terdapat sungai Serayu yang membatasinya dengan wilayah Kabupaten Banjarnegara.

            ‘Angkringan Mamake’ muncul belakangan ini. Semula tempat itu lebih dikenal sebagai sanggar seni ‘Darimu Entertainment Education’ yang dikelola sejak tahun 2012. Sanggar itu lebih banyak berisi aktivitas putra putri remaja putus sekolah dan pelajar aktif untuk belajar seni, dan karya kerajinan bambu.

“Anak-anak yang berlatih diberi jamuan ala kadarnya masakan khas ndesa, ternyata menyukainya dan ketagihan. Akhirnya, mulai bulan Juni 2016 ini, saya punya ide untuk membuka semacam warung yang menjual masakan ndesa. Karena mamak (ibu-red) saya yang masak, maka spontanitas saya sebut ‘Angkringan Mamake’,” kata pengelola Sanggar Darimu, Dwi Nugroho (21).

Menu yang disajikan berupa paket minimal untuk tujuh hingga 10 orang. Namun, melayani pula paket kecil untuk tiga atau empat orang. Biasanya masakan akan siap sekitar 1 jam setelah dipesan, karena semuanya harus dipetik dari kebun, termasuk ayam goreng yang harus dipotong dadakan. Jika ingin memesannya sebelum datang bisa kontak pengelelo melalui HP  085740086874. “Paket yang kami jual kami namakan ‘Paket Sega Bakal’. Bakal sejatinya nama Desa Bokol, yang asline disebut Desa Bakal,” kata Dwi yang dikenal dengan rambut gimbalnya ini.

Paket sega Bakal terdiri dari paket ‘Bakal Wareg Gotong Royong 7 wong’ seharga Rp 170 ribu. Paket ini berisi  nasi putih sesumbul, ayam goreng segluntung, jangan jantung pisang seciri (satu ciri – tempat dari grabah), tempe gundil 14 iris, lalaban seciri, sambel seciri, dan banyu (air) segogok. Air minum segogok maksudnya disajikan dengan gelas ukuran jumbo.

Paket lainnya berupa ‘Bakal wareg seporete gotong royong 7 wong’ seharga Rp 180 ribu. Paket ini terdiri nasi putih sesumbul, ayam goreng segluntung, jangan jantung seciri, jangan lompong (batang talas) seciri, tempe gundil 14 iris, lalaban seciri, sambel seciri, banyu segogok, teh panas sepoci.  Kemudian paket ‘Bakal Wareg Seporete Langka Pole Pokoke gotong royong 10 wong’ seharga Rp 250 ribu. Paket ini berupa nasi putih sesumbul, ayam goreng segluntung, jangan jantung seciri, jangan lompong seciri, tempe gundhil 21 iris, lalaban seciri, sambel seciri, banyu segogok, degan 7 gluntung, dan cimplung seciri. Untuk degan dijasikan tidak dengan sedotan plastik, tetapi dengan pelepah dauh pepaya.

“Dari menu yang disajikan, untuk nasi memang ukurannya banyak sekali. Yang khas dan membuat ketagihan sambel bawang dan sayur jantung serta lompongnya,”  tutur Sri Wahyuni, salah seorang pengunjung.

Dwi Nugroho mengaku, sebagai orang ndesa, dirinya butuh dukungan dari ebrbagai pihak. Dwi mengaku bersemangat membantu anak-anak di desanya untuk berlatih seni, serta membuka usaha angkringan kecil-kecilan. Dwi juga mengaku semangatnya semakin besar untuk maju setelah mendapat pembinaan dari Dinas kebudayaan pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora), Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi (Dinperindagkop), dan Yayasan Pilar Purbalingga.

Kepala Bidang Pariwisata Dinbudparpora Purbalingga, Ir Prayitno, M.Si mengungkapkan, Desa Bokol yang bersebelahan dengan desa wisata Kedungbenda saat ini disiapkan sebagai desa wisata rintisan. Desa Bokol diarahkan sebagai desa wisata tematik dengan seni dan karya kerajinan bambu yang dijual, sementara Desa kedungbenda yang sudah lebih dulu berkembang lebih pada wisata susur sungai Klawing. “Dua desa ini yang dipadukan, bisa menjadi bagian paket wisata kunjungan ke desa di wilayah selatan Purbalingga. Secara bertahap, kami akan terus melakukan pendampingan bersama dinas lain dan pihak-pihak yang peduli,” tutur Prayitno.

Prayitno menambahkan, Dwi Nugroho pada bulan Juli 2016 lalu juga menjadi salah satu nominator pemuda pelopor tingkat Jawa Tengah. Tim dari provinsi sudah melakukan evaluasi pada Minggu kedua bulan Agustus ini. “Meski bukan berharap mendapat kejuaraan, namun setidaknya sudah ada pengakuan dari Pemprov Jateng akan kiprah Dwi Nugroho teerhadap lingkungan masyarakat sekitarnya,” kata Prayitno.

Sementara Pembina Yayasan Pilar Purbalingga, Siswanto, S.Pt, M.Si mengungkapkan, pihaknya juga tertarik melakukan pendampingan atas kreasi sanggar seni Darimu. Pendampingan berupa pemberdayaan UMKM dan wisata memang menjadi bagian utama Yayasan Pilar. “Mereka butuh dukungan dan beberapa bantuan lain, mudah-mudahan secara bertahap, kekurangan yang ada, termasuk peningkatan sumberdaya manusia akan bisa dicukupi dan ditingkatkan,” kata Siswanto. (y)