PURBALINGGA – Suara tembang kidung Panggel bernuansa Islami mulai menggema di pendapa balai desa Puspa Jaga, Desa Onje, Kecamatan Mrebet, Kamis malam (19/5). Sesaat kemudian, lampu penerangan pun dimatikan, suasana terasa gelap. Tak lama berselang, puluhan obor bambu yang dibawa anak-anak mengelilingi balai desa menerangi malam itu.
Dipandu salah seorang warga,Sumerji (49), prosesi Nyadran Bareng malam itu pun dimulai. Ratusan warga dan tamu undangan tampak khidmat memenuhi pendapa itu. Sementara di salah satu sudut pendapa itu, nasi penggel lengkap dengan lauk pauknya siap dibawa dan diarak menuju Mesjid Sayyid Kuning, sekitar 600 meter dari balai desa itu.
Usai kidung Panggel dinyanyikan dengan iringan musik gamelan, kepala desa setempat Budi Triwibowo menyerahkan satu takir nasi Paggel lengkap dengan lauk pauknya kepada salah seorang warga, Suryanto. Penyerahan nasi itu sebagai pertanda diimulai kirab nasi Panggel.
“Simbol nasi Panggel sebagai ungkapan agar tetap ingat kepada Gusti Allah. Panggel, pangeling-eling lebeting penggalih, pengingat didalam hati kita bahwa ada sang Pencipta,” kata Sumerji.
Sumerji mengungkapkan, nasi penggel dibuat pulen dan dibuat seperti menggunung. Nasi itu dilengkapi dengan lauk mulai dari ayam, mie goreng, srundeng kelapa, kluban, pete, jengkol, tempe goreng, tahu goreng, dan kacang ijo yang hampir menjadi kecambah. “Lauk di nasi Panggel memang dibuat ada yang enak dan ada yang tidak enak. Lauk yang enak seperti daging ayam, sedang yang rasanya kurang enak seperti pete atau jengkol. Simbol lauk yang bermacam-macam ini sebagai wujud bahwa hidup di dunia memang ada hal yang enak dan tidak enak. Namun, semuanya harus disyukuri. Dan lauk yang ada harus dimakan, tidak harus mengeluh,” ujar Sumerji menerangkan.
Lauk itu juga memiliki makna tersendiri. Srundeng dari kelapa misalnya, melambangkan bahwa manusia harus bisa memberi warna dalam komunitasnya. Srundeng akan membuat makanan menjadi enak, dan gurih. Seperti halnya manusia, agar bisa memberikan warna dalam kehidupan bermasyarakat yang baik. Kemudian, ada pete dan jengkol yang dipotong-potong kecil. Makanan itu melambangkan sebagai kawula alit. “Manusia hidup di dunia pada hakekatnya hanya manusia biasa, ibaratnya seperti kaum cepethe (tidak punya apa-apa). Semuanya tergantung kepada Gusti Allah. Semua yang melekat di dunia, akhirnya akan sirna. Jabatan dan kekuasaan juga akan tidak ada artinya, setelah manusia meninggal dunia,” ujar Sumerji.
Satu pikul nasi Penggel itu kemudian diarak menuju mesjid Sayyid Kuning. Mesjid yang usianya lebih tua dari mesjid agung Demak, dan merupakan peninggalan Wali Songo. Arak-arakan nasi penggel itu, diawali dengan obor yang dibawa anak-anak. Suasana desa tampak gelap. Semua lampu penerangan rumah warga dimatikan. Hanya penerangan obor yang menuntun langkah arak-arakan itu.
Sesampainya di halaman mesjid Sayyid Kuning, nasi Penggel itu diletakan di pintu utama mesjid. Sejurus kemudian, sang kepala desa Budi Triwibowo menyerahkan simbol nasi Panggel dalam sebuah takir kepada imam masjid Sayyid Kuning, Sudi Maksudi.
Imam mesjid itu kemudian mendoakan agar semua umat warga Desa Onje, dan tamu yang hadir diberikan keselamatan di dunia dan akhirat, serta diberikan rejeki yang secukupnya. “Mugi-mugi sedoyo pinaringan keslametan, wonten ndonya lan akhirat, ugi diparingi rejeki ingkang cekap (Semoga semuanya diberikan keselamatan di dunia dan akhirat serta diberikan rejeki yang cukup),” ujar Maksudi yang juga dikenal sebagai tokoh Islam Aboge di Desa Onje.
Usai mendoakan kepada warga masyarakat, Maksudi mengajal kepala desa beserta perangkatnya serta tamu untuk mandi kungkum, di Jojok Pertelu, atau Kedung Pertelu. Tempat itu merupakan pertemuan tiga Sungai yang menyatu di Desa Onje. Mandi berendam sebagai lambang agar manusia diberikan kebersihan jiwa maupun raganya. Prosesi mandi berendam itu di sungai yang berada tidak jauh dari mesjid Sayyid Kuning itu, dipandu oleh Maksudi. Ia awalnya menyiramkan air dalam satu gayung yang telah diberi bunga melati ke arah kepala. Setelah disiramkan, kemudian para perangkat desa dan tamu menuju air yang diyakini sudah bercampur dari tiga sungai.
Usai prosesi mandi di sungai, para perangkat desa dan tamu kembali ke mesjid dan menikmati nasi penggel bersama secara kenduri. Nasi itu dimakan dengan daun jati sebagai alasnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga Drs Subeno, SE, M.Si yang diminta menyambut dalam acara itu mengungkapkan, tradisi Nyadran Bareng yang diawali mulai dari prosesi nasi panggel, hingga mandi di sungai serta makan kenduri bersama, merupakan kearifan tradisi lokal yang perlu terus dijaga. “Tradisi ini juga bisa dikemas sebagai daya tarik wisata, seperti halnya perayaan keagaman di pulau Bali,” katanya. (y)