PURBALINGGA – Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga akan menggelar festival kothekan lesung, Minggu (24/5). Festival yang digelar di obyek wisata Goa Lawa akan diikuti oleh 18 kelompok seni kothekan lesung dari 18 kecamatan di Purbalingga. Festival ini merupakan kali pertama digelar dan dipastikan unik dan menarik.
Kepala Dinbudparpora Purbalingga Drs Subeno, SE, M.Si mengungkapkan, festival ini selain untuk melestarikan tradisi masyarakat pedesaan, juga sebagai daya tarik atraksi wisata di obyek wisata Goa Lawa. Dalam festival ini akan menarik karena pemain khotekan lesung bukan hanya dari kaum ibu-ibu yang sudah usia lanjut, namun juga dari kalangan gadis maupun remaja. “Melestarikan tradisi budaya dengan bermain lesung tidak membuat tangan para wanita terluka, tetapi justru menggugah nilai seni tradisi yang sudah nyaris punah,” ujar Subeno, Senin (18/5).
Diungkapkan Subeno, lesung merupakan sebuah wadah yang terbuat dari batangan pohon yang digunakan sebagai tempat menumbuk padi. Alat penumbuknya adalah sebuah batang kayu yang disebut Alu. Dulu para petani kita menggunakan lesung untuk menumbuk padi menjadi beras. Ketika saat itu para petani masih menggunakan Ani-ani sebagai alat pemanen padi. Keseharian para petani menumbuk padi itu juga diselingi dengan sebuah hiburan untuk menghilangkan kejenuhan. Dan kotekan lesung adalah salah satunya.
“Sambil menumbuk padi para petani juga memukul-mukulkan alu pada lesung secara berirama. Sehingga menghasilkan irama tabuhan yang menarik, dan para petani akan bersenandung untuk mengiringi irama tabuhan kotekan lesung. Mereka juga akan menggerakkan badannya sambil mengikuti alunan irama dari lagunya. Sehingga suasana bekerja pun akan menjadi lebih menyenangkan, karena dilakukan dengan penuh kegembiraan dan kebersamaan,” kata Subeno.
Namun sekarang, lanjut Subeno, ketika fungsi lesung telah tergantikan oleh mesin penggiling padi modern, masyarakat kita pun beralih pada cara yang lebih mudah, mereka meninggalkan lesung yang dulu telah menemani keseharian mereka. Tidak lagi terdengar senandung kotekan lesung, berganti dengan suara mesin diesel penggiling padi modern.
“Kotekan lesung sebenarnya memiliki nilai filosofi tentang semangat gotong royong dan kebersamaan dalam masyarakat. Dan juga sebagai ungkapan kebahagiaan atas hasil bertani yang telah didapatkan. Namun di waktu sekarang ini lesung bisa dikatakan menjadi barang yang langka. Jarang sekali masyarakat kita yang memilikinya, apalagi memainkannya. Karena lesung sekarang telah berubah menjadi sebuah barang koleksi, dengan harga yang cukup mahal tentunya,” kata Subeno prihatin.
Subeno menambahkan, dengan langkanya lesung tersebut, pihaknya pada saat festival menyediakan khusus. Dinbudparpora menyiapkan delapan buah lesung yang terbuat dari batang pohon mahoni. Lesung ini nantinya akan diberikan kepada para pemenang festival dan penampil terbaik, selain hadiah uang pembinaan. “Mudah-mudahan dengan festival lesung ini, anak cucu kita bisa tahu dan paham jika alat penumpuk padi jaman dulu telah menjadi bagian kehidupan masyarakat petani,” tambah Subeno. (y)