PURBALINGGA – Dinas Pemuda Olah Raga (Dinporapar) Kabupaten Semarang, selama dua hari, Senin (31/10) – Selasa (1/11) melakukan kunjungan studi komparatif pengembangan desa wisata di Purbalingga. Rombongan yang berjumlah 10 orang mengikuti live in di Desa Wisata Panusupan, Kecamatan Rembang. Selain menikmati sejumlah daya tarik wisata di Panusupan, rombongan juga melakukan sarasehan dan mengunjungi desa wisata Serang, Kecamatan Karangreja.

            Kepala Bidang Pariwisata Dinporapar Kabupaten Semarang Dra Agustin, M.Si mengungkapkan, pihaknya memilih Kabupaten Purbalingga untuk belajar pengembangan desa wisata, karena perkembangannya dinilai sangat pesat.

“Kabupaten Semarang memiliki 30-an desa wisata, dan ada beberapa desa wisata yang sudah lama sekali berdiri, namun perkembangannya tidak secepat di Purbalingga. Oleh karenanya kami memilih Purbalingga sebagai tempat tujuan. Jika diistilahkan, kebo nusu gudel, saya rasa bukan hal yang tabu. Tidak perlu malu jika kami harus belajar ke Purbalingga yang baru muncul belakangan,” kata Agustin, di sela-sela acara sarasehan di kawasan wisata pring wulung jembatan Cinta Desa Panusupan, Selasa (1/11).

Dikatakan Agustin, untuk menuju Purbalingga dari Semarang memang lumayan jauh. Bahkan, harus terkendala beberapa perbaikan jalan yang rusak, namun setelah sampai di Panusupan dan menikmati sejumlah daya tarik wisata, rombongan merasa senang. “Jerih payah yang lumayan capek, akhirnya terbayar setelah sampai di Panusupan,” ujarnya.

Agustin mengungkapkan, dengan belajar ke Purbalingga, ada beberapa hal yang bisa diterapkan. Persoalan utama dalam hal menyangkut pengembangan sumberdaya manusia dan cara memotivasi pengelola desa wisata. “Pengelolaan desa wisata di Semarang, sudah cukup lama, namun dengan belajar dari Purbalingga, akan kami terapkan ilmu yang kami peroleh,” kata Agustin.

Agustin juga memuji tingkat kunjungan wisata ke sejumlah desa wisata di Purbalingga, khususnya desa Panusupan dan Desa Serang. Tingkat kunjungannya, sudah layaknya seperti daya tarik wisata massal yang dikelola secara profesional. “Cara promosi dan pemasaran yang masif, menjadi kata kunci untuk menjual sebuah desa wisata. Pemasaran tidak tergantung pada seseorang ang ditugasi sebagai marketing, namun semua pengelola desa wisata, hingga jajaran pembina di Dinbudparpora Purbalingga ikut menggerakannya melalui berbagai media,” ujar Agustin.

Sementara itu, Kepala Bidang pariwisata Purbalingga Ir Prayitno, M.Si mengungkapkan, pengembangan desa-desa wisata mulai intens dikembangkan sejak awal 2015. Semula desa-desa wisata yang ada, ibarat mati suri. Secara hukum ada surat keputusan bupati tentang desa wisata, namun belum sesuai yang diharapkan. “Sejak awal tahun 2015, kami total menggerakan pengembangan desa-desa wisata. Pola yang kami pake dengan merekrut para pemuda di desa. Ini pengalaman lapangan, pengelolaan desa wisata di tangan anak-anak muda lebih cepat berjalan. Kemampuan SDM nya yang terbatas juga masih terbuka untuk dikembangkan,” kata Prayitno.

Prayitno menegaskan, setiap kali pembinaan di desa wisata, para pemuda yang siap bergerak dimotivasi untuk maju. Jika dalam satu desa ada minimal tiga atau empat orang yang siap bekerja tanpa pamrih dan tidak menilainya dengan uang, maka niscaya desa itu akan maju. Berbeda jika semangat para pemudanya yang nglokro, maka kemajuan desa wisata akan tersendat dan sulit untuk berkembang. “Belajar dari 15 desa wisata yang dikembangkan, sudah terlihat perkembangannya. Tingkat kunjungan wisatanya naik drastis hingga 900 persen. Selain pemberian motivasi dan semangat untuk maju, juga dibekali dengan berbagai pelatihan dan sesekali diajak untuk melakukan studi banding ke desa wisata lain di luar kota yang sudah maju,” kata Prayitno.

Sementara itu, Ketua Pokdarwis (Kelompok sadar wisata) Ardi Mandala Giri Desa Panusupan, Yanto Supardi mengatakan, pemuda di Desa Panusupan semula tidak tertarik mengembangkan desanya sebagai desa wisata. Mereka puas dengan wisata religi Ardi Lawet yang hanya dikunjungi sekitar 11 ribu orang dalam waktu satu tahun.

“Setelah mendapat pembinaan dari Dinbudparpora Purbalingga, kami yang semula tidak bisa apa-apa, saat ini paling tidak sudah bisa melayani wisatawan. Kami dilatih cara memandu, cara mengelola homestay, cara promosi dan pelatihan lainnya. Setiap dukuh juga saling berlomba membuat daya tarik wisata yang berbeda, dan saat ini, kunjungan ke Panusupan sejak januari 2016 hingga bulan September saja mencapai 98 ribu orang. Semua pendapatan dinikmati masyarakat, Dinbudparpora tidak mengambil sepeserpun,” kata Yanto Supardi. (y)